5.05.2008

Sekolah: Mengejar Impian atau Mengejar Nilai?

Sepintas pertanyaan itu seperti selalu merasuk pikiranku. Belakangan ini, yang ada di dalam hanyalah kata-kata penyemangat--untuk terus belajar. Aduh, nilai Biologi masih dibawah SKBM, hmm besok harus belajar lagi. Latian Mat belom dikerjain, padahal besok udah due date-nya, nanti malem harus dikerjain, soalnya kan nilai ulangan. PR Ekonomi juga belom selesai, nanti pulang sekolah harus langsung diselesein, nanti bakal dinilai soalnya, apalagi besok ulangan... jeng...jeng...kimia! Nilai kimia, juga masih jauh di bawah SKBM.

Seperti ituuuu saja, yang selalu menguntai otak saya. Seakan-akan, diri saya sedang mengejar nilai, dan nilai itu seperti tujuan utama untuk... well, naik kelas dan mendapat jurusan di kelas 2 nanti (saya sekarang duduk di kelas 1 SMA). Mungkin bisa diibaratkan seperti ini: seorang pelajar yang telat bangun, lalu ia harus mengejar bus terakhir yang akan membawanya ke sekolah. Tetapi bus itu sudah terlanjur jauh, dan pelajar tersebut masih tetap berusaha sekuat tenaga untuk mengejar bus tersebut.

Semenjak itu, diri saya juga terus bertanya-tanya. Jadi apa sebenarnya yang saya lakukan setiap hari? Pergi ke sekolah, untuk berusaha mendapat pendidikan yang baik, dan mengejar impian serta mimpi saya. Atau mengejar nilai, yang rasanya belum sampai-sampai juga?

Pertanyaan itu seperti sebuah untaian benang yang masih kusut.

Lalu saya teringat akan kalimat ini : Learning is a journey, not a race! Sepertinya kalimat itu adalah jawaban yang tepat bagi pertanyaan saya, pembelajaran di sekolah itu seharusnya adalah sebuah perjalanan, bukan sebuah perlombaan. Sebuah perjalanan akan proses belajar, bukan sebuah perlombaan akan 'mengejar nilai'.

Dan bahwa perjalanan tersebutlah yang akan membawa kita ke 'impian' atau cita-cita kita,
bukan perlombaan akan mendapat nilai yang bagus terus.

Tetapi faktanya, hal tersebut belum terjadi. Bila dilihat, masih banyak sekolah-sekolah, di Indonesia khususnya, yang mengacu pada 'mengejar nilai'. Konsep belajar yang masih melihat
hasil akhir(atau nilai), bukan proses belajarnya. Lihat saja UN atau ujian nasional, yang tahun ini
sudah diberlakukan pada murid setingkat sekolah dasar (SD). Dan juga diberlakukan pada
tingkat SMP dan SMA.

Supaya bisa mendapatkan ijazah dari negara (pemerintah, lebih tepatnya), yang dilihat hanyalah hasil akhir, bukan proses belajar selama 12 tahun yang telah ditempuh (bagi murid SMA), atau 9 tahun (bagi murid SMP), dan 6 tahun (bagis murid SD). Menurut saya, hal tersebut masih jauh
dari pendidikan yang ideal. Saya jadi berpikir, kalau para pahlawan pendidikan Indonesia, seperti R.A. Kartina serta Ki Hadjar Dewantara maish hidup, kira-kira apa yang akan mereka katakan mengenai pendidikan Indonesia saat ini? Well, kalau pertanyaan tersebut, tidak ada yang bisa menjawabnnya, kecuali mereka sendiri...