Hampir selama seluruh hidup saya, saya hidup dalam sebuah budaya yang masih menganggap bahwa seks itu tabu untuk dibicarakan. Meskipun di SD dan SMP saya sudah mendapat pendidikan seks, tetapi hal tersebut sayangnya tidak 'dilanjuti' di SMA saya. Namun saya beruntung memiliki keluarga yang cukup liberal untuk membicarakan mengenai pemahaman akan seks. Sehingga saya pun tidak perlu tanya teman ataupun melakukan hal-hal bodoh, hanya karena minimnya pemahaman akan seks.
Saya jadi teringat akan seorang teman saya, ketika itu kami duduk di kelas 6 SD. Karena rasa penasaran akan keingintahuan mengenai apa itu seks (pertanyaan yang sangat simpel bukan?), ia pun mencoba untuk menggoogle 'seks'. Tetapi bukan pada komputer rumahnya, melainkan komputer sekolah, lebih tepatnya komputer kelas kami. Dalam sebuah budaya yang merasa bahwa seks itu tabu untuk dibacarakan, jadilah kejadian tersebut sebuah masalah. Guru-guru saya pun 'menasehati'nya dan sedikit 'mencercanya', ia dianggap salah dan 'melanggar norma'. Padahal kalau ditinjau lagi, pertanyaan sesimpel "apa itu seks?" adalah sebuah hal yang sering dijumpai di kalangan anak-anak praremaja. Namun banyak pihak masih belum mengerti bagaimana memberi pendidikan seks pada anak, dan lebih lagi menjelaskan mengenai seks pada anak-anak yang masih lugu akan seks itu sendiri. Sehingga terjadilah kekeliruan pengertian akan seks, termasuk istilah-istilah seks (yang kemudian karena minimnya pemahaman banyak yang menggunakan istilah-istilah tersebut sebagai lelucon, padahal apabila mereka mengerti dengan jelas, mereka pun tidak akan menggangap hal-hal tersebut lucu. Hingga persepsi yang keliru mengenai apa yang dianggap porno).
Kejadian-kejadian seperti itu seyogianya perlu ditindaklanjuti secara menyeluruh, anak tidak dapat sepenuhnya disalahkan dan dihakimi begitu saja. Pihak-pihak lain seperti orang tua, sekolah dan guru pun harus menginstropeksi lebih lanjut lagi. Apakah pendidikan seks sudah dijalankan? Dan kalaupun sudah, apakah sudah berjalan dengan baik dimana anak-anak pun sudah mulai dapat memahaminya secara dewasa? Sehingga semua kekeliruan dan bias akan seks pun dapat dihindari, dan lebih dari itu semua anak-anak pun paham akan seks itu sendiri dan dapat melihatnya secara dewasa dan terbuka.
Karena kerap kali dijumpai, mereka-mereka yang minim pendidikan akan seks kemudian memiliki persepsi yang keliru. Mereka juga pada dasarnya bingung, bahwa mereka harus bertanya pada siapa? Terlebih apabila di sekolah tidak ada pendidikan seks, orang tua yang merasa tidak pantas untuk membicarakan mengenai seks pada anaknya, dan guru yang sering menghakimi dengan kata-kata seperti ini misalnya "dasar kamu pikirannya jorok mulu". Bagaimana anak tidak bingung? Kemudian anak pun harus bertanya pada siapa? Sementara teman-teman mereka tidak semuanya bisa menjelaskan secara 'dewasa'.
Salah satu kejadian yang membuat saya kemudian berpikir, betapa minimnya pendidikan seks di kalangan anak-anak dan remaja (terutama dalam komunitas sekolah), adalah ketika beberapa dari teman saya yang masih keliru akan istilah 'heteroseksual'. Padahal usia mereka sudah menginjak hampir 17 tahun, beberapa bahkan sudah 17 tahun (yang notabene di Indonesia sudah termasuk dalam kategori 'legal', punya KTP).
Diawali dengan pembicaraan mengenai pandangan kami akan homoseksual, yang kemudian membawa saya sehingga saya mengatakan bahwa saya adalah seorang yang heteroseksual.
"Loh? Heteroseksual? Hetero kan berarti banyak, berarti lo suka punya banyak pasangan dong?", ucap seorang teman saya yang berjenis kelamin laki-laki.
"Huh? Bukan, heteroseksual itu artinya tertarik pada lawan jenis..........", dan belum sempat saya jelaskan secara menyeluruh beberapa teman saya yang lainnya malah tertawa. Ya, mereka lebih percaya dengan definisi teman saya yang tadi, bahwa heteroseksual itu artinya kecenderungan memiliki banyak pasangan.
Sampai akhirnya saya pun sudah 'lelah' untuk berbicara.
Ya, istilah 'sesimpel' heteroseksual pun masih banyak yang suka keliru. Padahal bila dikaji ulang, mudah sekali untuk diartikan. Kata "heteros" dalam bahasa Yunani yang berarti beda, lawannya "homo" yang berarti sama. Pada intinya heteroseksual adalah orientasi seksual yang tertarik pada lawan jenis. Namun tetap saja ada yang masih keliru.
Akhirnya, sekali lagi harus ditekankan bahwa minimnya pemahaman akan seks dan istilah-istilah seks tidak dapat sepenuhnya dibebankan pada anak atau remaja semata. Masih banyak pihak yang sebenarnya turut ikut andil dalam pendidikan seks bagi mereka, mulai dari orangtua, keluarga, guru dan pihak sekolah hingga institusi ataupun komunitas yang berperan dalam 'membesarkan' dan mendidik anak dan remaja.